Jumat, 20 Maret 2009


M.Haris alwi,S.PSi, Guru Bimbingan Konseling SMP Negeri 2 Kaliwiro (Lamuk), Wonosobo Jateng.
Ingin selalu berbagi pengalaman dengan siapa saja demi memajukan dunia pendidikan Indonesia.

Kamis, 19 Maret 2009


My spirit, inilah para penyemangatku dalam bertugas, dan bekerja.
sekolah di negeri awan (lamuk)

Rabu, 18 Maret 2009

sunting dari smp 1 garung

UJIAN Nasional (UN) selama ini diharapkan sebagai media untuk memotret perkembangan kualitas pendidikan dan sekaligus sebagai wahana untuk pemetaan pendidikan. Dua hal ini sebenarnya tidak menuai protes oleh berbagai kalangan. Yang sering mendapat hujatan keberadaan UN dijadikan salah satu penentu kelulusan anak didik yang menempuh ujian. Persoalan ini bak buah simalakama. Tampaknya memang tidak adil bila suka duka seorang siswa selama tiga tahun hanya ditentukan oleh ujian selama tiga atau empat hari.
Selain penilaiannya kurang kompit UN bagaikan vonis mematikan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Andaikan UN tidak dijadikan salah satu penentuan kelulusan, pelaksanaannya hanya sekadarnya. Siswa dan komunitas pendidikan tidak greget, dan hal ini tidak seimbang dengan besaran biaya penyelenggaraan UN yang tidak sedikit. Fakta inilah yang tampaknya meng-ilhami pemerintah menjadikan UN sebagai penentu kelulusan seorang siswa.
Secara teoritis UN hanya digunakan sebagai salah satu faktor penentuan kelulusan, namun dalam realitas UN merupakan satu-satunya penentu kelulusan. Sampai saat ini belum terde-ngar siswa tidak lulus gara-gara ujian sekolah (US) yang jelek. Mayoritas tetap bertumpu pada keberhasilan UN dan persoalan US, sekolah dapat menyiasati. Bila merenung fenomena ini, sebenarnya ukuran berhasil tidaknya siswa dalam menempuh pendidikan hanya semata-mata di ukur oleh keberhasilan menggapai nilai UN.

Sedini Mungkin
Menyadari ujung akhir keberhasilan siswa semata-mata hanya didasarkan keberhasilan UN, seharusnya satuan pendidikan telah ancang-ancang secara dini demi suksesnya ujian yang akan datang. Sangat bijaksana sekali bila jauh-jauh hari satuan pendidikan telah membentuk ‘tim sukses’ UN. Keberadaan try out soal UN menjelang ujian dilaksanakan sangat tidak efektif. Oleh karena itu bila sekolah ingin sukses UN atau bila perlu kabupaten/kota mengharapkan UN di wilayahnya sukses, maka pelaksanaan try out ujian sedini mungkin justru lebih baik.
Pemahaman ini didasarkan pada pengalaman masa lalu, try out yang mendekati UN dilaksanakan membuat tidak ada kesempatan bagi siswa dan guru untuk membahas soal-soal try out secara mantap. Selain itu, banyaknya aneka latihan soal UN justru akan membuat pusing siswa menjelang ujian dilaksanakan. Bila persoalan ini tidak direspon baik oleh sekolah maupun pihak yang terkait di tingkat kabupaten/kota, peluang ini justru dimanfaatkan aneka bimbingan belajar (bimbel) dalam menyongsong keberhasil-an UN. Akibatnya jangan kaget bila siswa kelas akhir justru lebih percaya pada aneka strategi bimbel daripada keberadaan guru-gurunya di sekolah ma-sing-masing. Yang repot lagi, adanya anggapan suksesnya UN hanya semata-mata jasa bimbel dan jasa guru yang mengasuh bertahun-tahun begitu mudah dicampakkan.
Pengalaman pahit inilah yang seharusnya dicarikan solusi bijak oleh sekolah dalam menyiapkan putra-putrinya dapat berhasil UN. Keberadaan UN memang menyita tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Pembelajaran kelas akhir satuan pendidikan mayoritas hanya berkutat pada materi yang dipersiapkan untuk UN. Penambahan materi, latihan soal ujian seakan-akan menjadi santapan wajib bagi siswa. Padahal, bila siswa selalu digelontor latihan soal sebenarnya siswa akan jenuh dan tidak akan semangat belajar. Siswa hanya pandai cara-cara menjawab soal pilihan ganda dan tidak kritis dalam menganalisis suatu persoalan.
Faktor lain yang kadang diabaikan yakni soal motivasi. Selama ini guru atau bahkan kepala sekolah hanya memberi instruksi dan kabar yang menakutkan siswa tentang UN. Memang UN memerlukan semangat belajar keras, oleh karena itu yang pa-ling bijak siswa mendapat sentuhan kasih sayang, motivasi yang menaruh harapan indah sehingga siswa tergerak hatinya untuk belajar keras dengan penuh kesadaran.
Tidak ada siswa yang meng-hendaki tidak berhasil UN. Meskipun demikian latihan soal yang bertubi-tubi, penambahan les dan bimbel yang menyita waktu sebenarnya belum jamin-an siswa akan berhasil UN. Persoalan ini akan tambah rumit bila lingkungan siswa (keluarga) tidak mendukung emosional siswa. Orangtua hanya menuntut dan menuntut siswa untuk belajar, sementara kebutuhan rekreasi, penyegaran otak apalagi gizi yang tidak memadai justru akan menambah keruwetan emosional siswa.
Menyiapkan siswa sukses UN tidak sekadar berondongan latihan soal, penambahan jam pelajaran, namun juga memberi keleluasaan siswa untuk berimprovisasi, berkreasi, berekreasi. Mereka tidak sekadar butuh materi pelajaran, tetapi juga membutuhkan lingkungan kondusif, suasana menyenangkan, motivasi yang menjanjikan. Peran keluarga juga memiliki andil yang tidak sedikit. Suasana rumah tangga yang menyenangkan, pemenuhan kebutuhan siswa serta motivasi orangtua sangat dinanti-nanti siswa yang akan UN. Doktrinasi dan ancaman orangtua tidak akan membiayai bila tidak lulus justru akan mematikan kreativitas dan semangat dalam belajar. Masih ada waktu tiga bulan untuk membekali siswa-siswi menyongsong UN 2009, sudah seharusnya pihak-pihak yang terkait, baik sekolah maupun keluarga untuk berbuat yang terbaik demi keberhasilan UN yang akan datang.
Melalui kerjasama yang sin-kron antara sekolah dan keluarga akan memberi manfaat besar pada kesuksesan siswa-siswi menempuh UN. Selama ini kerjasama sekolah dan orangtua baru seputar soal pembiayaan pendidikan, untuk itu sudah tiba saatnya sekolah dan orangtua proaktif demi keberhasilan sukses UN 2009. Semoga!